Kakawin Prasuling ring Hamelin: Pengantar

  

Selayang Pandang Kakawin Prasuling ring Hamelin


Om Swastyastu.

Kakawin berjudul Prasuling ring Hamelin ‘juru suling di Hamelin’ ini sesungguhnya merupakan saduran dari cerita dongeng terkenal asal Jerman, yakni Pied Piper atau Si Peniup Seruling. Cerita yang disadur dalam karya ini mengalami sejumlah perubahan menyesuaikan konvensi kakawin serta latar budaya yang disesuaikan dengan latar kebudayaan Bali.

Permulaan kakawin dimulai dengan manggala berupa ungkapan pujian kepada Dewa Pasunatha (Pasupati) yang dipuja di tengah karya ini. Beliaulah yang memberikan keselamatan dan kebahagiaan pada seluruh dunia (I.1). Selanjutnya, pengarang memohon maaf karena lancang meniru sang kawi dan mengarang cerita yang disadur dari cerita asal Jerman. Sungguhlah cerita yang disadur ini menjadi kurang baik karena si pengarang yang bodoh dan tanpa ilmu bagaikan api sebesar kunang-kunang yang ingin menerangi malam (I.1-I.2).

Kisah dimulai dengan sebuah kota bernama Hamelin yang diserang oleh gerombolan tikus yang datang bergulung-gulung bagai ombak (II.1). Rumah, dapur serta ladang, berikut warung-warung dan gubuk semuanya tidak ada yang terlewat oleh serangan tikus (II.2). Baju dan tenunan dirobek, makanan dibawa kabur, daging tersisa hanya tulang, semua tikus itu bersuka cita mencari makanan di kota (II.3). Belum lagi suaranya yang mengganggu dan bau tidak mengenakan, menyebabkan semua orang menjadi sedih dan berusaha mencari upaya mengalahkan gerombolan tikus ini, tetapi tetap saja gagal (II.4-5).

Pada sebuah pagi, orang-orang Hamelin berkumpul di alun-alun menyuarakan kemarahannya. Mereka juga menagih janji sang walikota untuk menghabisi para tikus (II.6-7). Walikota pun menyebut dirinya tak lupa pada janji, ia juga menyatakan akan ada hadiah tak kurang dari seribu gulden bagi orang yang berhasil mengusaikan serangan tikus ini (II.8-III.2).

Dari barisan belakang warga yang sedang marah, seorang lelaki tampan dengan pakaian merah, selendang kuning, jubah merah dan topi mengaku bisa menyelesaikan masalah di Hamelin. Tak ada orang mengenalnya, dan dia pun mengaku bernama Pid Piper, seorang peniup suling. Penampilan orang ini membuat kagum orang sekitar. Dia pun diminta membuktikan ucapannya (III.3-9)

Pid Piper kemudian meniup sulingnya dengan nada yang manis, menyebabkan para tikus dari berbagai penjuru keluar untuk mengikuti suara tersebut bak terkena guna-guna. Tikus itu dituntun menuju Sungai Wasa (Waser). Pid Piper membawa tikus itu berjalan memotong sungai. Ketika ada di tengah sungai, aliran air menyapu para tikus hingga hanyut. Pid Piper pun merasa bangga dan puas pada keberhasilannya. Kejadian itu hanya meninggalkan seekor tikus kecil yang terlambat mengikuti rombongannya. Tikus ini sedih ibarat daun bambu yang tergeletak di tanah melihat sanak keluarganya binasa dihanyutkan air sungai (IV.1-6).

Tak dikisahkan di perjalanan Pid Piper menuju kota, orang-orang merasa bahagia karena negerinya kembali aman. Pid Piper kemudian menagih janji karena sudah berhasil menyelamatkan kota dari serangan tikus berkat tiupan serulingnya.  Walikota rupanya setengah hati ketika harus memberikan uang pada Pid Piper. Menurutnya, jika hanya karena meniup suling, semua orang pun bisa melakukan hal itu, jadi walikota hanya memberi uang sebesar lima puluh gulden. Orang-orang pun ikut mencela Pid Piper, menyebabkan amarahnya menggunung (V.1-7)

Pid Piper pun murka, dan menyebut walikota seorang pembohong. Sementara walikota menganggap Pid Piper hanya seorang perampok karena memaksa untuk meminta uang. Pid Piper kemudian diusir. Pid Piper tidak tinggal diam, dia bersumpah akan membalas kelakuan warga kota yang tidak tahu balas jasa dan sudah melecehkannya (VI.1-5)

Malam terlewati. Keesokan paginya,  Pid Piper datang dengan pakaian serba hijau seperti pemburu yang ingin memburu harimau. Hari itu orang-orang Hamelin pergi untuk beribadat. Tinggallah anak-anak yang berkumpul diam di rumahnya. Pada saat itulah Pid Piper kembali datang. Anak-anak kala itu sedang asyik bermain-main, menari-nari, kendati ada yang masih lelap tertidur. Pid Piper meniup sulingnya lagi, suara itu menyebar ditiup angin. Nada-nada yang dimainkan sama dengan saat dimainkan ketika membasmi para tikus. Bedanya, yang mengikuti nada itu kali ini adalah anak-anak tersebut. Anak-anak seperti lupa diri ketika mendengar suara suling yang manis itu (VI.6-VII.6).

Anak-anak keluar dari rumahnya, berbondong-bondong mengikuti alunan suara suling. Berbagai halangan di jalan mereka lewati tanpa dirasakan. Jalan mereka pun semakin jauh sampai ke sebuah gunung bernama Gunung Tengkorak. Anak-anak itu pun hilang dalam sekejap (VIII.1-4). Ketika orang-orang pulang ke rumah, mereka semua menjadi riuh karena anak-anaknya hilang. Mereka segera mencari anak-anaknya, hingga bertemu tiga orang anak yang ada di tengah jalan. Tiga anak itu terdiri atas anak pincang, buta dan tuli. Hal itu menyebabkan mereka tertinggal di tengah jalan raya (VIII.5-11).

Berdasarkan cerita anak yang tertinggal, mereka mencari para anak yang hilang di gunung. Namun mereka seolah hilang ditelan gunung. Orang-orang sangat sedih karena seratus tiga puluh anak Hamelin menghilang sekalian, menyebabkan kehancuran yang sesungguhnya tidak ada bedanya dengan ketika kota diserang tikus sebelumnya (VIII.12-17).

Cerita pun selesai ditulis dalam bentuk kakawin oleh Sahaya Pandya (VIII.18). Sekali lagi pengarang menyampaikan pujaan pada Bhatara Siwa Dahana (Siwa Geni) seperti yang dipuja di awal kakawin dengan harapan karya ini bisa menjadi bekal ketika pulang ke alam baka.  Berikutnya disampaikan keterangan waktu awal dan selesai penulisan, serta tempat selesai penulisan, di Banjar Gosali (Pande), tepatnya di wilayah utara jurang, sebelah barat laut kuburan. Pengarang mohon maaf pada orang-orang, terlebih orang bijak bestari dan para penekun sastra yang membaca karya ini. Karya ini ibarat dihasilkan seekor semut yang merasa dirinya gajah (VIII.17-IX.5).

Om Santih Santih Santih Om.



Kakawin dapat dibaca dari pranala berikut ini:

Pupuh I

Pupuh II

Pupuh III

Pupuh IV

Pupuh V

Pupuh VI

Pupuh VII

Pupuh VIII

Pupuh IX

Komentar