Ikhtisar Cerita Kakawin Sagara Manika
Om Swastyastu.
Kakawin Sagara Manika ini terdiri atas 108 bait di dalam 16 pupuh. Tiap pupuh menggunakan wirama tersendiri. Kakawin ini memiliki sejumlah alternatif judul, yakni Kakawin Manik Sagara (dalam judul naskah awal), Kakawin Jaladhi Manika (dalam manggala) dan Sagara Manika (dalam epilog). Berikut ini disajikan isi ringkas Kakawin Sagara Manika. Silakan klik judul pupuh untuk menuju teks yang bersangkutan.
Permulaan kakawin berupa sembah bakti si pengarang yang
dungu di tengah tulisannya ditujukan pada Hyang Ratnasambhawa. Beliau tiada
lain adalah yang menciptakan kesejahteraan untuk ketiga dunia tanpa tandingan.
Dalam wujud brahmangga dan pranawa, kedudukan beliau senantiasa
dilantunkan berulang-ulang oleh para kawi. Tentunya hal itu berbeda
dibandingkan pengarang yang ikut-ikutan mencipta cerita dengan buruknya, ibarat
ikan kecil yang berada di tengah lautan yang bergejolak. Demikianlah ibaratnya
kelancangan si pengarang yang pastinya akan mati sebab tidak sanggup berenang,
lebih-lebih terlempar ke darat. Namun karya ini dibuat pengarang bukan karena dia
paham, namun hanya sebagai sarana sembah bakti, lebih-lebih setelah
diperhatikan bahwa karya ini rusak seisi-isinya. Karena itulah dengan perasaan
yang hina, pengarang mengarang cerita yang diberi judul Jaladhi Manika (Sagara
Manika) ini dengan harapan semoga Bhatara Ratnakara senantiasa memberikan usia
yang panjang.
Sebagai permulaan kisah, ada negara yang sangat terkenal
bernama Negeri Ragakarana. Rakyatnya senantiasa bahagia dan berlimpah buah dan
makanan. Ada pula yang menjadi nelayan dan melakukan aktivitasnya menjaring
ikan. Ikan yang diperoleh pun mencapai ratusan ribu, sehingga menyebabkan
masyarakat pesisir senantiasa senang dan puas. Ikan-ikan itu digunakan sebagai
makanan, juga sebagai persembahan, diolah dan diperjualbelikan di pasar.
Sementara raja di daerah tersebut seperti Dewa Asmara yang menjelma, serta
bagaikan Dewa Indra di alam fana.
Adapun nama raja di negeri itu adalah Sri Kumbha. Umurnya
kurang dari dua puluh tujuh tahun. Sang raja sangat senang berjalan-jalan di
pesisir lalu berlayar di laut. Demikianlah yang dilakukannya ketika bosan di
kerajaan saat siang hari. Pada suatu hari di bulan Kartika, sang raja pergi ke
pesisir dan menuju pabean di selatan. Sesampainya di pelabuhan, beliau menaiki
kapal emas dan berlayar ke laut. Perjalanan ini diikuti oleh Melem, Malen,
Guludawa (Sangut) dan Mredah. Ketika sampai di tengah laut, riak air yang
ditiup angin pelan memberi keindahan padanya. Ombak yang indah berwarna biru
mengingatkan orang yang sedang sakit hati karena berkeinginan pada seorang
kekasih. Namun, sesungguhnya tiada hasil jika memaksakan diri pada gadis yang
acuh belaka. Luasnya laut menjadi cerminan betapa banyaknya orang yang bisa
dijadikan pengganti kekasih.
Semakin berlalu, lumba-lumba dengan senang hati berloncatan
terus menerus di pinggir kapal, bagaikan menyambut orang yang datang sebab
dikira sebagai saudaranya yang datang dari lautan nan jauh. Demikian pula ikan
todak yang berlenggak-lenggok seperti menari baris dan penyu yang ibarat menari
rejang. Mereka mengira kapal sang raja adalah wahana Bhatara Jalapati (Baruna)
yang sedang bercengkrama. Itulah sebabnya mereka mendekat dan memberi hormat.
Namun, setelah diyakini bila itu bukan kapal sang dewa, mereka pun segera
membubarkan diri.
Sang raja dalam kondisi ini merasa senang karena mendapat
pelipur lara. Lebih lanjut, di ujung penglihatannya terlihat ada pulau kecil.
Malen menyebut pulau itu bernama Nusa Kanaka (Pulo Mas) yang sedang mengalami
musim semi.
Luasnya laut sudah ditempuh, kini pelayaran ini diterpa
badai petir. Langit menjadi gelap ditutup mendung, sementara laut juga ditutupi
kabut. Sang nahkoda berusaha mempertahankan kapalnya, bencana itu menerjang
dengan lama. Sangut yang takut memeluk kakinya lalu bersembunyi, merasa bila
ajal akan mendekat padanya. Sementara itu, Delem mengucapkan mantra-mantra
seolah dia adalah pawang hujan. Langit tiba-tiba mengeluarkan kilat disertai
gemuruh petir. Delem terkaget dan gemetar lalu ikut bersembunyi, membatalkan
niat awalnya untuk bertindak sebagai pawang hujan.
Merdah dan Malen di sisi lain mendampingi sang raja.
Kesetiaan mereka tidak terkena sapuan ombak, hingga goncangan di tengah laut
itu tiba-tiba menghilang. Bersamaan dengan itu terlihat ada balai manik yang
mengambang penuh hiasan di tengah laut. Hiasannya serba emas dengan atap
permata. Tirainya dari sutra putih dan panji-panjinya berwarna merah. Payungnya
sepasang berwarna hijau serta permadani motif Persia. Seorang perempuan cantik
berada di balai itu seperti bidadari Gagar Mayang. Busananya menggunakan kain sih
tan pegat dan gedog wali. Bunga cempaka putih disuntingkan di antara
ikatan rambutnya berupa pusung gonjer.
Kemungkinan gadis ini baru saja melakukan upacara menek
daha atau menginjak remaja, sebab sang raja melihat banyaknya sesajen yang
digelar di tempat itu. Raja pun menyuruh pengawalnya untuk mendekat ke balai
itu. Setelah semakin dekat, kini raja semakin melihat jelas rupa gadis ini.
Kulitnya sawo matang, dengan alis seperti daun mimba. Matanya seperti dua
matahari dan kukunya seperti mutiara. Rambutnya hitam lebat dengan senyum
semanis gula. Langit pun menjadi goncang karena kedipan mata gadis itu.
Sang raja seperti terkena panah asmara. Sang raja lalu
mendekat pada tempat gadis itu dan bertanya, “Siapa sesungguhnya adinda cantik
di tengah balai emas? Beritahukanlah dengan sungguh-sungguh padaku, janganlah
berbohong!” Setelah mendengar kata-kata dari atas kapal itu, sang gadis tanpa
menoleh lalu meloncat ke lautan. Sang raja pun sangat kecewa, sebab ia jatuh
hati pada gadis yang tiada diketahui namanya. Wajahnya menjadi lesu seperti
teratai tanpa air juga muram bak diselimuti mendung.
Tak dikisahkan perjalanan Raja Kumbha di lautan lalu pulang
lagi ke pelabuhan. Ketika mendarat, matahari sudah condong ke barat. Sudah
sekian lama, sang raja masih saja teringat pada gadis itu. Serasa gadis itu
masih ada di depan matanya dan tidak mau pergi dari sana. Oleh sebab itu, Malen
dan anaknya yakni Si Merdah diperintahkan oleh sang raja agar mencari tempat
balai emas terdahulu. Namun, ketika dicari rupanya balai itu sudah hilang.
Berikutnya Sangut dan Delem diutus untuk memanggil seorang
pelukis bernama Sangging Prabhangkara. Keduanya pergi ke utara, lalu ke timur
hingga tiba di rumah Sangging. Ketika itu Sangging sedang melukis seisi lautan
ketika sore hari. Sangut dan Delem pun dibuat tidak berkedip melihat lukisan
yang sangat indah itu. Tidak dikisahkan keadaan di rumah Sangging, mereka
bertiga bertolak ke istana.
Raja pun memerintahkan pelukis itu untuk menggambar sang
gadis sesuai rincian yang diberikan sang raja. Sangging pun melukisnya sampai
lukisan gadis yang sangat mirip tercipta. Tak ada bedanya gadis itu sedang ada
dalam pantulan bercermin. Raja pun sangat senang dengan hasil lukisan yang
tiada celanya. Kemudian sang raja membuat perintah agar seluruh rakyat dan
pejabatnya mencari gadis seperti dalam lukisan itu.
Para menteri pun pergi ke berbagai negara, hingga tiba di
Daha, Keling, Singasari, Gegelang dan Bali. Mereka yang tiba di Bali menyinggah
di pesisir Katewel, di Masceti dan Langkung (Lebih). Ada pula yang tiba di
Sanur dan Pulau Sirangen yang semuanya tampak indah.
Kepiting yang berjalan di pasir, tapak kakinya bagaikan
menulis surat tentang kesedihan sang raja yang ditinggal gadis itu. Tiada obat
menghilangkan kesedihan sang raja, kecuali dapat bertemu dengan gadis itu.
Dikisahkan kini Malen ada di pesisir Sirangen. Dia menemukan sebuah tempat
pemujaan seperti lingga yang kokoh dan menjadi poros dunia. Di saat itu,
seorang pendeta datang dan menyapa Malen, mempertanyakan apa yang sedang
dilakukannya dengan bersusah payah. Malen pun menjawab bila dia dijadikan
utusan untuk mencari gadis cantik dari permintaan Raja di Negeri Ragakarana.
Malen mengatakan semua orang sudah lelah mencari-cari, sehingga apakah dia
harus menggeledah lautan yang ganas (untuk menemukan putri itu)?
Sang pendeta menjawab perkataan Malen dengan ucapan yang
teduh. Pendeta itu menyebut bila ia mengetahui gadis itu yang sesungguhnya
bernama Dewi Manik Sakecap. Jikalau ingin bertemu dengan gadis itu, suruhlah
sang raja untuk membuat persembahan yadnya di laut. Singkatnya, persembahkanlah
segala hal yang mulia sebab jika berkenan maka Raden Manik akan ditemukannya
lagi.
Malen pun sangat senang mendengar ucapan sang pendeta itu.
Candi yang ada di tempat itu disembahnya lalu segera kembali ke istana dan
mengabarkan segala informasi yang diketahuinya dari sang pendeta di Serangan.
Sang raja pun segera mempersiapkan sajen di pesisir laut. Denting suara genta
yang manis terdengar di langit dari suara genta Sang Siwa dan Bajrapani
(Buddha) yang bergabung jadi satu. Belum lagi suara kidung dan gamelan, seperti
gong, kendang, gubar dan beri yang menjalar.
Persembahan itu sudah digelar tanpa kekurangan, ibarat para
dewalah yang menggelar persembahan itu. Kemudian setelah selesai,
dipersembahkanlah seekor kambing hitam sebagai sarana untuk dilarung. Ketika
kambing itu hampir dilarung, Melem berkata pada sang raja bila tidak mungkin seorang
gadis akan hadir setelah kambing dilarung. Mestinya gadis itu digugah dengan
harta benda. Malen tidak sepakat dengan hal itu. Raja yang bingung lalu
menuruti perkataan Delem.
Segala harta benda sudah dikumpulkan, berbagai macam padi,
beras empat warna, kelapa, arak, buah-buahan, biji-bijian dan umbi-umbian serta
rempah beratus-ratus bakul, belum lagi gula dan susu sapi disertai telur berkeranjang-keranjang
memenuhi pesisir. Sang raja pun memanggil Dewi Manik menyebut bila sang gadis
itu tidak akan kekurangan makanan bila bersama sang raja.
Tidak lama kemudian, muncullah kotak yang datang entah dari
mana. Ketika kotak itu dibuka, berisi beras emas, godem, jawawut, jagung, ubi,
pisang serta buah yang semuanya dari emas. Semua orang heran melihat kotak yang
bercahaya itu. Ada pula surat berisi tulisan dari Diah Manik Sakecap yang
menyebut dirinya sudah berlimpah makanan. Raja pun menjadi malu dan
menggantikan persembahannya dengan kain cepuk, sutra, prada, bantal,
cacawangan, gringsing wayang dan keling. Juga kain songket, papare dan kain
wayang putri yang bertumpuk tinggi. Ada pula berbagai kosmetik, cermin, cucuk
rambut yang bagus-bagus. Harumnya ramuan itu tercium bahkan sampai tiga yojana.
Sang raja kembali memanggil Sang Dewi menyebut bila sang raja sudah
mempersembahkan berbagai perhiasan, yang akan membuat gadis itu mengalahkan
kecantikan Sang Himarasmi.
Kotak kembar kembali muncul di pesisir. Sangut disuruh untuk
membukanya. Dia pun terkagum karena di dalamnya berisi berbagai perhiasan dan
busana yang menyala. Kain-kain bersulam emas juga berbenang emas. Ada pula
bedak dari mutiara dan wewangian. Suara dari tengah laut berkata bila dia sudah
berlimpah perhiasan. Sang raja kini menjadi marah karena merasa dilecehkan.
Raja mengatakan amarahnya bisa membinasakan dunia, serta tajam ucapan sang raja
seperti petir yang menyambar berulang-ulang.
Ucapan raja lalu dijawab oleh Dewi Manik. Suara itu muncul
dari laut, terdengar ke pantai namun seolah berasal dari langit. Dewi Manik
mengatakan sang raja jangan sampai sombong, sebab Dewi Manik juga sama
saktinya. Bahkan, bila niatnya buruk seluruh negara pun bisa dihancurkannya
dengan ombak yang datang terus-menerus.
Raja menjadi semakin marah. Seluruh rakyatnya disuruh
mengambil panah, cakra, pedang, keris dan tombak. Senjata-senjata itu lalu
disuruh agar dilemparkan ke tengah laut. Hal ini karena keyakinan raja bila
perempuan tak mungkin memiliki senjata. Merdah dan Malen pun mengingatkan sang
raja agar mengurungkan niatnya, namun karena amarah yang sudah terlanjur
menjadi-jadi, sang raja tetap menghujani laut selatan dengan senjata. Puluhan
ribu senjata dilempar ke laut. Sang raja lalu menantang Dewi Manik seraya mengunuskan
kerisnya.
Tiba-tiba senjata yang sudah dilempar berbalik ke darat, berganti-gantian
menghujam para prajurit hingga menembus tubuhnya. Prajurit-prajurit itu yang
tidak mengetahui datangnya senjata dari laut, mereka pun tewas dengan kondisi
mengenaskan. Pantai dipenuhi oleh mayat yang menggunung dan membentuk lautan
darah. Sang raja pun menjadi sangat sedih karena pasukannya hancur.
Air laut pun berubah merah, namun bukan karena darah.
Aromanya busuk disertai warna laut yang sekarang menghitam serta api yang
keluar dari tengah laut bersamaan dengan asap hitam. Malen pun berucap. Hal ini
dianggap sebagai pertanda buruk, akibat perbuatannya kini seluruh dunia diterpa
kesengsaraan. Tiada gunanya raja yang ingin menghancurkan laut. Hal itu
sangatlah lancang. Tidaklah mungkin sang raja dapat mengimbangi laut ibarat melempar
garam ke laut itu sendiri, sebab di dalam laut sudah berlimpah berbagai permata
dan harta benda.
Hati sang raja menjadi hancur. Ia pun menyadari
kekeliruannya yang membuat rusak lautan. Ia pun memohon maaf sambil menangis
seperti sabda burung kokila yang menangisi bulan. Tak lama kemudian, pendeta
tua muncul dari dalam laut. Dengan tenangnya, sang pendeta berjalan di atas
lautan api. Pendeta tersebut lalu mendekat pada sang raja. Sang raja pun
menyembah hormat pada sang pendeta, sambil mengusap debu kaki sang pendeta. Sang
raja memohon belas kasih sang pendeta yang berwujud seperti Buddha yang menciptakan
kedamaian di alam fana.
Sang pendeta lalu menyampaikan pada sang raja. Bila ia masih
ingin bertemu Dewi Manik, sekaligus mengetahui kesejatian laut itu sendiri,
sang raja harus menceburkan dirinya ke tengah samudra. Setelah itu, maka
rahasia di balik laut akan ditemuinya. Sang raja hanya diam setelah mendengar
ucapan sang pendeta tua. Sang raja masih ragu, sekaligus takut bila ia akan
tewas di tengah laut. Setelah lama, barulah sang raja menceburkan dirinya. Hal
itu sebab dia melihat keadaan pantai yang sudah porak poranda karena perbuatannya
di masa lampau. Oleh sebab itu, sang raja ingin menebus kesalahannya dengan
melarung dirinya sendiri sebagai persembahan.
Sang raja, bersama Malen dan Merdah pun turun ke dasar laut.
Karang berapi sudah dilaluinya. Banyak ikan kecil memenuhi dasar laut seperti
membentuk formasi yang berbeda-beda. Ikan seleh, teri, bekem, lemuru, cotek,
lamadan, udang, lada, serta ungang berhamburan. Ada pula ikan dorang, lemujung
yang dengan senang hatinya berkelindan di sekitarnya. Di bawah mereka ada batu
karang yang ditempati teripang, serta ikan buntal dan gurita. Tak jauh dari
sana pun udang karang berjalan di atas batu.
Ketiga orang itu mengikuti batu karang yang panjang, lalu di
timur lautnya ada tempat yang sangat indah. Ada batu panjang yang berdiri
seperti lingga Sang Pasupati (Siwa). Sang raja pun memanjatkan doa pada Dewa
Siwa-Buddha dan Baruna Gni di hadapan lingga itu. Sebab beliaulah yang
menguasai lautan ini.
Banyak ikan yang menyaksikan sang raja, ikan-ikan besar,
ikan berkepala harimau, ular, serta kura-kura sebesar kapal mendekatinya. Ikan-ikan
ganas semuanya menjadi jinak di hadapan sang raja. Segala hewan ini menjadi
teduh karena doa sang raja. Tiba-tiba karang itu bergoncang, sehingga para ikan
menjadi kabur. Berikutnya, naga berbadan ikan muncul dari sela-sela batu
karang. Naga itu mengenakan pakaian emas yang sangat bercahaya. Taringnya tajam
seperti taji, juga lidahnya panjang. Naga itu pun bertanya pada sang raja,
tentang asal dan tujuannya datang ke tempat itu. Sang naga menganggap mereka
bukan manusia biasa karena bisa sampai ke dasar laut dengan selamat.
Raja pun menyebut ia adalah Raja Negeri Ragakarana yang
mengadakan persembahan di pesisir selatan karena ingin menemukan gadis cantik
yang berasal dari laut bernama Dewi Sakecap. Hal itu gagal sehingga membuatnya
sangat sedih. Sekaligus ia ingin kehancuran di pesisir dapat dikembalikan
seperti semula. Sang naga menyebut Dewi Manik sedang murka, karena sang raja
dengan sombongnya menodai keindahan laut.
Raja yang tersinggung dengan ucapan sang naga, menanyai
balik naga itu tentang siapa sesungguhnya naga tersebut. Sang naga mengatakan
dirinya adalah hamba dan kaki tangan Bhatara Sagarapati (Baruna). Tidaklah mungkin
sang raja dapat menemui yang diinginkannya bila sang naga tidak berkenan.
Hati raja menjadi remuk, dia memohon pada sang naga untuk
memberikan jalan agar sang raja berhasil menemui Dewi Manik. Sang naga pun
kembali meledek sang raja yang masih kukuh pada keinginannya itu, sebab karena
keinginan itulah para prajurit tewas dan pantai menjadi hancur. Segenap negaranya
pun akan hancur karena amarah laut.
Sang raja yang sudah bingung memohon maaf, menawarkan
nyawanya sebagai pengganti untuk menebus segala kesalahannya. Dengan nyawanya
itu sebagai pengganti, sang raja ingin agar seluruh rakyat senantiasa dijauhkan
dari bahaya.
Sang naga lalu meminta bukti kesungguhan ucapan sang raja.
Sang raja terdiam karena tak tahu cara membuktikan ucapannya. Tiba-tiba dasar
laut bergetar. Dasar tasik seolah akan jatuh ke bawah. Ikan-ikan berhamburan
tanpa tahu jalan, beserta penyu dan ikan paus yang pergi kabur dari sekitarnya.
Ikan hiu, ubur-ubur dan ikan pari pun kebingungan. Lubang sebesar tiga pelukan
lalu muncul. Semakin lama semakin sedikit juga air di laut yang tersisa.
Sang naga lalu menanyakan apa yang akan dilakukan sang raja,
sebab lubang itu adalah mulut Kala Sunya yang ingin menghisap habis seluruh air
di samudra. Sang naga mendesak bukti sang raja yang sungguh-sungguh ingin
menebus kesalahannya dengan cara menutup mulut Kala Sunya, sebab bila hal itu
tidak dilakukan maka lautan akan surut.
Sang raja beserta kedua pendampingnya lalu masuk ke dalam
lubang itu. Badan mereka dipakai menyumpal lubang yang sangat dalam itu. Lubang
itu pun mengecil ketika mereka bertiga sudah menerjunkan diri ke dalamnya. Tiba-tiba
Malen dan Merdah sudah terbangun di pesisir. Mereka tidak ada di dasar laut
lagi. Sang raja pun tengkurap dengan busana yang lusuh, robek dan basah di
tepian laut. Malen segera mendekat dan membangunkan sang raja. Raja pun menjadi
kaget dan teringat hal yang mereka lakukan di dasar laut.
Sang pendeta rupanya masih ada di tempat semula. Sang
pendeta mengatakan dirinya sangat senang karena sang raja dapat kembali dengan
selamat. Sang pendeta menanyakan perolehan sang raja di dasar laut. Sang raja
menyatakan dirinya tak menemukan apa-apa selain naga. Sang raja pun sudah tidak
berminat pada Dewi Manik.
Sang raja menyadari karena kedunguannya menyebabkan dunia
hancur. Kelancangannya merusak laut karena menginginkan Dewi Manik menyebabkan
amarah samudra yang menggoncangkan perasaannya. Sang pendeta lalu menyampaikan,
bila lautan di luar diri dan di dalam diri sesungguhnya adalah sama. Laut di
dalam tubuh sesungguhnya berada di dalam perut, sehingga tiada bedanya lautan
di badan dengan lautan di dunia.
Laut adalah tempat sumber penghidupan seluruh dunia. Lahir
hingga matinya seluruh manusia bermula dari laut. Laut adalah tempat bertemunya
penghidupan dari segala mahkluk, oleh sebab itu janganlah berbuat sesenang hati
pada laut, baik di dalam badan maupun laut di luar badan. Sesungguhnya Diah
Manik pun tidak ada. Laut itu sendiri yang bernama Diah Manik Sakecap, sebab
segala hal di dunia dapat diupayakan dari laut. Dewi Sakecap itu murni hanyalah
bayangan ketika (raja) mengarungi laut.
Setelah menyampaikan sabdanya, sang pendeta lalu beryoga. Di
laut kemudian lingga manik yang bercahaya muncul. Setelah cukup lama barulah
sang raja menyadari bahwa itu adalah lingga. Sang raja, Malen dan Merdah lalu
menyembah pada lingga tersebut. Air laut lalu dipercikkan pada semua yang
tewas. Berkat kesaktian dewa, semua yang tewas lalu berhasil hidup lagi. Mereka
yang sudah hidup kembali tidak ada yang ingat perbuatannya terdahulu, bagaikan
baru bangun dari mimpinya. Ujung lingga itu cahayanya membuat silau mata karena
adanya permata. Sang pendeta berpesan untuk menjaga laut hari ini hingga di
kemudian hari lalu tiba-tiba sang pendeta musnah dari pandangan. Demikianlah cerita
Sagara Manika sudah ditulis.
Cerita ini selesai ditulis pada purnama bulan Phalguna,
dikarang di rumah sebelah utara kuburan, wilayah Banjar Lohakara (Pande), Talikup
ketika hujan jatuh di malam hari. Tahun tersebut adalah catur samudra
babahan sawiji (1944 Saka) pada hari Minggu Paing Pahang. Sementara, waktu
memulai karangan ini pada tilem di bulan Posya, ketika warga Gianyar melakukan amrajaya
marana yajna (nangluk mrana) di Lebih pada tahun yang sama ketika
matahari sudah terbenam.
Pengarang menyampaikan permohonan maaf karena banyak kesalahannya
dalam mempertimbangkan guru lagu dari kakawin yang sangat sulit. Serta
permohonan agar hendaknya si pengarang bodoh yang mengarang karya buruk ini
dapat dimaafkan.
Terima kasih sudah menyimak.
Om Namo Siwa Baruna ya. Om Santih Santih Santih Om.
semangat berkarya!
BalasHapus